Ada sedikit kekhawatiran yang saya lihat dari bola salju polemik pro vs anti LGBTQ yang masih bergulir di dunia maya. Saya harap tidak menjadi lebih buruk. Tetapi ada beberapa hal yang hendak saya ungkapkan, terutama ke kelompok yang pro.
Di negara se-liberal Amerika, gerakan legalisasi LGBTQ masih menemui banyak halangan. Mencoba hal yang sama di negeri seperti Indonesia, yang mayoritas warganya adalah pemeluk agama yang konservatif, pasti akan lebih masif penolakan yang diterima.
Yang justru terjadi sekarang adalah sorotan lebih tajam terhadap golongan LGBTQ. Bahkan pada mereka yang pada awalnya mungkin tidak peduli pada gerakan legalisasi. Mulai dari closeted gays hingga para ibu-ibu di warung. Di sini gerakan tersebut menjadi terasa kontra-produktif. Alih-alih hendak mengeliminasi diskriminasi, sekarang malah justru merasakan diskriminasi bertubi-tubi. Setidaknya di media sosial.
Ini sama saja memperjuangkan faham komunisme di era Orde Baru. Apakah diperbolehkan memperjuangkan kepercayaan pribadi? Ya. Apakah arif memperjuangkannya tanpa memperhatikan situasi dan kondisi? Tidak.
Saya tidak mencoba melarang atau mengatakan bahwa gerakan ini ilegal. Tetapi backlash yang dialami gerakan LGBTQ bukan sesuatu yang tidak terduga. Saran saya cuma: lay low for a while, curb your ego. Siapa menabur angin, dia akan menuai badai.