Minangkabau kini

Satu hal yang sulit saya pahami dari etnis Minangkabau saat ini adalah betapa jauh berkurang sumbangsihnya pada keberagaman dan kekayaan pemikiran di negara ini, terutama bila dibandingkan dengan satu abad lalu. Ya tentu saat ini masih ada tokoh-tokoh berdarah Minang yang memiliki sumbangsih pemikiran yang hebat di berbagai faset keilmuan, namun saya pikir tidak dapat dikatakan sesignifikan di masa lalu.

Etnis Minang adalah bagian dari kelompok minoritas di negara ini. Berdasarkan sensus 2010, populasi etnis Minang di Indonesia cuma berada di urutan 7 dengan 2,73%. Di bawah etnis Batak, Madura, Betawi, dan jauh bila dibandingkan dengan Sunda (15,5%) apalagi Jawa (40,22%). Dan dengan mengandalkan presumsi serta ekstrapolasi, saya bertaruh situasinya tidak jauh berbeda dengan seratus tahun sebelumnya di awal abad 20.

Namun sejarah memperlihatkan bahwa kelompok minoritas ini di awal abad lalu melahirkan banyak pemikir besar. Dua bidang yang paling menonjol adalah politik dan kesusastraan (bidang-bidang yang dapat dikatakan memiliki untaian benang merah yang sama: linguistik). Dalam hal politik, semua orang yang pernah mengenyam bangku sekolah tentu tahu siapa Muhammad Hatta. Lalu para bapak bangsa, seperti Sutan Sjahrir, Agus Salim, Tan Malaka, M. Natsir, & M. Yamin, kebesaran mereka pasti tidak asing bagi siswa-siswa yang kemudian tertarik pada materi sejarah. Tanpa mereka belum tentu republik ini ada, setidaknya tidak seperti bentuk kesatuannya seperti sekarang. Kemudian etnis ini juga menghasilkan banyak pujangga dan filsuf yang mempengaruhi zeitgeist bangsa melalui kisah-kisah dan tulisan-tulisan yang mereka buat. Ada nama-nama seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Nur Sutan Iskandar, Marah Rusli, Tulis Sutan Sati, Abdul Muis, Aman Datuk Majoindo, Buya Hamka, Rohana Kudus, Chairil Anwar, Usmar Ismail, hingga Asrul Sani.

Namun di balik menurunnya dominasi sumbangsih pemikiran, ada satu hal yang jauh lebih mengganggu saya pribadi, yaitu betapa etnis ini sekarang terasa bagai berwatak satu jalur. Tidak ada lagi variasi-variasi paham & ideologi, tidak ada lagi spektrum pemikiran yang mengagumkan seperti di masa lalu, tidak ada lagi perang pemikiran antara sesama pemikir Minang. Tidak ada lagi semangat perdebatan sehat antar para tokohnya. Sekarang seolah-olah segala pemikiran yang diungkapkan oleh tokoh Minang semuanya mengerucut kepada satu paham & satu paham saja.

Di akhir abad 19, beberapa dekade pasca berakhirnya Perang Padri (yang di buku sejarah kita disalut gula oleh pemerintah, dengan sengaja meninggalkan fakta bahwa selama puluhan tahun Perang Padri adalah perang saudara), khazanah pemikiran di Minangkabau mengalami pergolakan luar biasa. Perpaduan diskursus pasca Perang Padri (antara kelompok adat tradisional Minang dan kelompok Padri yang beraliran salafi) dan budaya matrilineal (yang memaksa laki-laki berkelana keluar dari kampung halaman dan saat kembali ia membawa pemikiran dari berbagai tempat asing) membuat Minangkabau di peralihan abad 19-20 sebuah tempat yang sangat kosmopolitan. Ini terlihat dari buah karya para pemikir-pemikir di atas. Di masa kejayaannya, etnis Minang memiliki pemikir-pemikir hebat dari berbagai aliran & ideologi. Mulai dari para pemikir sosialis, liberal, nasionalis, komunis, hingga relijius. Hatta mencetuskan bentuk kooperasi sebagai perwujudan ekonomi sosialis. Hamka muncul sebagai pemikir besar relijius. Sutan Takdir Alisyahbana berjuang mendorong percepatan modernisasi Indonesia dengan karya-karyanya yang pro-rasionalisme dan pro-kesetaraan gender.

Keberagaman selalu menjadi kunci kemajuan sebuah masyarakat. Ini yang membuat negara seperti Amerika Serikat (yang dibangun oleh para imigran dari berbagai negara di dunia) adidaya, yang membuat kekalifahan Abasiyah jaya (membawa ilmu-ilmu Persia, Yunani, dan India ke dalam dunia Arab), ini pula yang membuat etnis Minang di awal abad 20 mendominasi ranah pemikiran bangsa Indonesia. Sangat memprihatinkan, bagi saya pribadi, melihat perkembangan di sana akhir-akhir ini. Pemikiran yang keluar dari tokoh-tokoh Minang sekarang begitu seragam dan tidak menyisakan ruang bagi pemikiran yang melawan arus utama. Sebuah upaya konservasi cara lama yang tidak dinamis mengikuti zaman dan cenderung dogmatis. Saya melihat ini sebagai resep kemunduran dan sejarah telah berulang kali memperlihatkannya. Entah apa yang sempat membuatnya jatuh ke spiral menurun ini, tapi saya rasa ia sudah jatuh terlalu jauh untuk mampu kembali ke kejayaannya yang dahulu.

2 thoughts on “Minangkabau kini

  1. bang punya backup audio diladifa yang “bintang bintang” ngga bang?
    saya cari2 di soundcloud udah dihapus kayanya.
    kali aja abang ada backup nya.
    any help would be appreciate.

    makasih bang

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.