Privilege

Di Twitter kembali ramai perdebatan soal privilege gara-gara seorang YouTuber terkenal (sebut saja namanya Jerome Polin) mengatakan bahwa seolah-olah privilege itu semu. Dari serangkaian twit-nya, saya menangkap pesan bahwa asalkan effort-nya cukup, semua orang pasti akan mampu meraih kesuksesan, apapun itu.

Saya jadi teringat pada peristiwa 21 tahun lalu saat saya menerima undangan untuk hadir ke acara Unispace 3, sebuah forum pemuda yang diprakarsai oleh UNICEF yang membahas topik seputar penjelajahan ruang angkasa. Saat itu acara diadakan di Vienna, Austria. Saya mendapatkan undangan setelah mengirimkan dua karya tulis ke panitia: yang pertama tentang kemungkinan evolusi kimia (evolusi senyawa anorganik menjadi molekul kompleks organik yang mampu replikasi diri) di bawah permukaan Titan, yang kedua tentang hipotesa proses hibernasi manusia pada perjalanan luar angkasa jangka panjang. Adalah salah satu momen paling membanggakan dalam hidup saya saat menerima surat undangan resmi dari UNICEF tersebut.

Tapi apa daya, effort saya terbatas pada membuat karya tulis ilmiah yang menghasilkan sebuah undangan. Panitia sama sekali tidak menanggung biaya perjalanan dan akomodasi dari Indonesia ke Austria. Mungkin, kalau saya terlahir sebagai anak menteri di era Orba, saya telah hadir di acara tersebut, bahkan mungkin melanjutkan studi di sana. Tapi sekeras apa pun effort yang saya usahakan saat itu, semuanya tidak akan dapat membantu saya mengejar impian untuk hadir ke Vienna.

Ya, saya sepakat bahwa privilege seharusnya tidak menghalangi usaha mencapai cita-cita. Semua orang, apapun latar belakangnya dapat meraih pencapaian-pencapaian (seperti tulisan saya tentang seorang anak penjahit di Nareh yang keliling dunia sebagai anggota pasukan UNEF). Tapi mengatakan bahwa hanya dengan effort semata maka semua orang pasti akan mendapatkan kesuksesan adalah sebuah sikap insensitif pada ketimpangan sosial yang ada di sekitar. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, di mana jurang privilege tersebut menganga sangat lebar. Mulai dari akses ke layanan kesehatan sejak dini, gizi yang cukup selama perkembangan, sarana dan kualitas pendidikan yang mumpuni, hingga akses ke listrik dan internet. Semoga ke depan jurang ini semakin sempat dan dangkal, agar anak-anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama, atau setidaknya tidak jauh berbeda, untuk mencapai cita-cita mereka.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.