Berhenti Pasrah

Pikiran ini terlempar ke beberapa tahun lalu. Di suatu siang di awal tahun 2016 saya sedang berada di sebuah mal di Bandung bersama anak bungsu, setelah satu hari sebelumnya mengantarkan anak sulung ke stasiun kereta untuk mengikuti darmawisata SMA di Bali.

Saya masih dapat mengingat jelas peristiwa siang itu, saat melihat siaran langsung di televisi yang tergantung di ruang tunggu sebuah bioskop. Siaran langsung dari selat Bali. Sebuah feri dikabarkan tenggelam. Hati saya menciut.

Berkali-kali saya menelepon ponsel anak sulung. Tak kunjung diangkat. Semakin banyak usaha menghubungi, semakin banyak panggilan tak terjawab, semakin remuk hati ini. Tak tega memperlihatkan kegelisahan pada anak bungsu yang seharusnya hari itu saya ajak bergembira. Tak sanggup pula menelepon istri yang berada di benua lain, yang telah mempercayakan anak-anak pada saya. Menit-menit berlalu begitu berat & lambat. Dan saat panggilan itu masuk dan suara anak sulung terdengar di telepon, menceritakan kalau ia baru tiba di pelabuhan, air mata mengalir tak terbendung. Saya menangis di sudut gelap ruang tunggu. Bahagia, lega, sekaligus merasa tak berdaya.

Tak terbayangkan perasaan orang tua siswa SMP 1 Turi yang saat ini masih harus menunggu kepastian kabar anak mereka. Atau perasaan mereka yang harus menerima kabar buruk, bahwa anak yang mereka sayangi bertahun-tahun harus pergi lebih dahulu.

Saya tak mau menerima alasan dari mereka yang mengatakan bahwa ini sudah takdir. Saya tak bisa menerima penjelasan yang mengatakan kalau kita tak bisa berbuat apa-apa. Saya tak terima kalau kita cuma boleh pasrah dan menerima. Saya terlalu marah untuk diam saja.

Pemerintah daerah, pihak sekolah, para “pembina” pramuka, semuanya harus bertanggung jawab. Tanpa tindakan dan hukuman, tragedi-tragedi lain dapat menimpa yang lain. Orang tua seharusnya tidak menguburkan anak-anak mereka. Kita harus memastikan bahwa keselamatan siswa di sekolah menjadi hal yang utama dan tak dapat ditawar-tawar lagi. Setidaknya memulai dari lingkungan sekolah anak kita. Alih-alih mengatakan bahwa hidup dan mati ada di tangan tuhan, kita harus berupaya agar keselamatan diperhatikan sampai hal sekecil-kecilnya. Ini alasan kita menggunakan sabuk pengaman saat berkendara, memakai helm di sepeda motor, itu sebabnya kita melarang rokok di ruang-ruang publik. Kita mampu berusaha menjaga keselamatan. Tidak hanya menyerah lalu menyalahkannya pada takdir.

Demi anak-anak kita.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.