Ulama Yang Sejuk

Beberapa hari lalu, dalam percakapan mengenai serangan Israel ke Gaza baru-baru ini, saya membaca seseorang menuliskan bahwa tindakan Israel dapat dibenarkan. Mereka (Israel) hanya membela diri dari “serangan roket jihad”, ujarnya. Saya menerangkan ke dia bahwa ia mengartikan jihad secara keliru. Kemudian dia membalas keterangan saya dengan mengutip beberapa ayat dari Al-Anfaal, seolah-olah tujuan umat Muslim adalah memberantas mereka yang berbeda. Saya segera membalas dengan mengatakan bahwa ia mengutip ayat-ayat tersebut di luar konteks. Namun setelah penjelasan panjang lebar, ia kemudian membalas dengan argumen bahwasanya semua Muslim yang bersikap baik saat tinggal di negeri Barat sesungguhnya hanya sedang dalam misi taqiyya. Saya bilang ini menggelikan. Sama menggelikannya dengan percaya teori-teori konspirasi berdasar paranoia. Ia pun bertanya, apakah ada negara mayoritas Muslim di mana non-Muslim diperlakukan sepadan?

Saya tentu saja segera mengingat negeri sendiri, yang bertahun-tahun terkenal akan kerukunan antar umatnya. Namun saat saya hendak menjawab dengan “visit my country and see for yourself“, di sana saya mengurungkan niat. Beberapa tahun silam, saya mungkin tidak akan ragu. Namun kini, saya tidak lagi melihat Indonesia sebagai sebuah contoh masyarakat Muslim yang yang patut dicontoh dalam hal habluminannaas.

Politik partisan yang memecah belah masyarakat pasca Pemilu 2014, sayangnya juga telah meracuni sendi-sendi spiritual. Disisipkan oleh agen-agen kampanye tak bertanggung jawab & diproliferasi oleh media sosial. Memang hal ini bukan sesuatu yang eksklusif terjadi di perpolitikan Indonesia. Di seluruh dunia, sentimen anti-keberagaman juga dihembuskan banyak kandidat politis. Mulai dari Le Pen di Prancis, hingga Trump di Amerika. Namun yang menyedihkan adalah muslimin Indonesia juga mulai condong pada konsep kami versus mereka dalam konsumsi spiritualnya. Ulama-ulama yang menyeru pada anti-keberagaman banyak diikuti. Sementara para ulama yang mengajak untuk merangkul keberagaman masyarakat Nusantara justru dicurigai.

Dahulu kita mengagumi almarhum KH Zainuddin MZ. Beliau mampu menyisipkan humor dalam ceramahnya, tanpa harus menertawakan orang atau kelompok lain. Di Bandung dahulu, saya dan istri selalu suka untuk mendengarkan ceramah Pak Aam Amiruddin & Aa Gym di radio yang selalu sejuk. Di media sosial, KH Mustofa Bisri kerap memberikan wejangan yang menjunjung persatuan. Dan kita masih ada ulama besar Quraish Shihab yang luar biasa sumbangannya pada keilmuan ke-Islaman & pujangga yang paham agama seperti Emha Ainun Najib, yang isi ceramahnya bahkan tidak hanya dikagumi umat Muslim Indonesia saja.

Nama-nama besar tadi, bagi saya pribadi, dalam isi ceramahnya selalu memberikan kesegaran rohani. Jauh dari memanaskan hati. Tidak ada “aku atau kamu”, kelompok kami versus kelompok kalian, dalam retorikanya. Itulah sebabnya, terus terang, saya prihatin saat mengetahui kini penceramah-penceramah yang jauh dari kesan sejuk mulai mendapat tempat di hati & benak masyarakat. Kemana perginya sifat bangsa kita yang terkenal rukun antar kelompok yang berbeda? Ada banyak ulama yang menyerukan merangkul perbedaan, kenapa yang memperuncing justru yang didengarkan?

Apakah banyak rekan sebangsa kita yang paranoid terhadap kelompok lain—seperti orang yang saya ceritakan di awal tadi—, sehingga lebih menyenangi ulama yang mengajak untuk menjauhi keberagaman? Saya harap tidak. Karena Islam diturunkan bukan hanya sebagai rahmatan lil muslimin, tetapi sebagai rahmatan lil alamin. Karunia untuk seluruh alam.

Wallahualam bishawab.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.