Algoritme dan Bias Pemikiran

Kasus Cambridge Analytica membuat penggunaan data pribadi di dunia maya menjadi buah bibir. Agensi ini dianggap bersalah karena menggunakan data pribadi pengguna Facebook untuk kampanye-kampanye politik. Mulai dari Brexit hingga pemilihan presiden di Amerika Serikat. Efeknya pada tatanan dunia tidak dapat dikatakan kecil. Facebook sebagai landasan bagi pergerakan agensi tersebut dianggap bersalah karena tidak dapat menjaga privasi data penggunanya.

Sikap menyalahkan Facebook sebagai penyebab utama kebocoran data bukan hal yang bijaksana. Media sosial, mesin pencari, aplikasi di internet, semuanya mengumpulkan dan memanfaatkan data kita. Semua menjual data tersebut kepada para penawar tertinggi. Saya rasa, yang sebaiknya diperbaiki adalah sikap kita dalam berinternet, alih-alih mengharamkan medianya. Mungkin saat ini yang menjadi sorotan adalah Facebook, tapi di lain waktu bisa jadi pembawa masalahnya adalah Twitter atau Google.

 

An old Cherokee is teaching his grandson about life. “A fight is going on inside me,” he said to the boy.

“It is a terrible fight and it is between two wolves. One is evil – he is anger, envy, sorrow, regret, greed, arrogance, self-pity, guilt, resentment, inferiority, lies, false pride, superiority, and ego.” He continued, “The other is good – he is joy, peace, love, hope, serenity, humility, kindness, benevolence, empathy, generosity, truth, compassion, and faith. The same fight is going on inside you – and inside every other person, too.”

The grandson thought about it for a minute and then asked his grandfather, “Which wolf will win?”

The old Cherokee simply replied, “The one you feed.”

 

Para pemasang iklan seperti Google, Facebook, dan Twitter telah mengembangkan algoritme yang dapat memahami preferensi kita di dunia maya. Mulai dari yang remeh seperti selera pakaian, gawai, atau kendaraan; hingga yang mendalam seperti preferensi politik, ideologi, atau orientasi seksual. Preferensi yang lantas dimanfaatkan oleh agensi seperti Cambridge Analytica dan lain-lain.

Setiap tindakan kita menjadi input bagi algoritme mesin data mereka. Setiap kata kunci yang kita masukkan, tagar yang kita gunakan, “like” yang kita berikan, semuanya mempertajam definisi preferensi tersebut. Pada akhirnya, informasi masif ini mengatur apa yang akan disajikan kepada kita di dunia maya. Menjadi sebuah siklus yang saling menguatkan bagai sebuah lingkaran setan data.

Bila tidak berhati-hati, tindakan kita di dunia maya dapat berbuah fanatisme. Fanatisme pada apapun bias yang kita miliki sebelumnya.

Confirmation Bias

Lalu apa yang dapat dilakukan di zaman di mana semua yang kita baca, semua tautan yang kita klik, bahkan semua tampilan yang kita lihat di layar, dipergunakan untuk mengatur bagaimana kita berpikir?

Beberapa hari lalu saya menyimak dua buah episode dari kanal podcast yang kebetulan mengangkat tema ini. Yang pertama dari Postinor, di mana mereka secara spesifik mengangkat tema Cambridge Analytica. Salah satu topik yang sangat bagus yang dibahas oleh Diky, Vinsen, dan Amel di episode ini adalah confirmation bias.

 

Filter Bubbles

Yang kedua dari Suarane. Episode ini naik tayang beberapa bulan lalu. Di episode tersebut, bang Rane membahas tentang filter bubbles, topik yang dibawakan Eli Pariser di TED Talk. Filter bubble adalah imbas dari usaha algoritme media sosial untuk menyediakan konten yang dianggap sesuai (tailor made) dengan preferensi pengguna. Walaupun tujuannya baik, tetapi kini kita sudah melihat efek buruknya.

 

Dari diskusi dan pembicaraan tersebut, ada benang merah yang dapat saya simpulkan.

Di dunia di mana algoritme mengatur apa yang kita baca dan dengar, langkah terbaik melawannya adalah dengan tidak membatasi apa yang kita konsumsi.

Dengan mengklik artikel yang muncul di linimasa, walaupun itu tidak sesuai dengan preferensi, kita dapat menghindari filter bubble yang diterapkan media sosial. Dengan mengikuti akun-akun yang kerap menulis atau membagikan konten yang tidak sesuai dengan preferensi, kita memperlemah confirmation bias pribadi. Dengan bersikap terbuka terhadap berbagai pemikiran dan paham, kita menghalangi algoritme dari mendikte apa-apa saja (menurut pemasang iklan) yang seharusnya kita konsumsi. Jadi intinya, tetaplah berpikiran terbuka dan bersikap dengan hati lega dalam berinternet.

“If the product is free, then you are the product.” –Silicon Valley adage

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.